Terima kasih, musuh…!
Engkau mengajariku bagaimana mendengar kritik yang pedas tanpa harus merasa galau. Engkau mengajariku bagaimana harus terus melangkah di jalan yang telah kutempuh tanpa ragu, meski kadang aku harus mendengar kata-kata yang kurang pantas atau tidak layak. Sungguh, ini adalah pelajaran yang sangat berharga. Pelajaran yang tidak bisa didapatkan secara teori, bahkan oleh seseorang yang telah berupaya dan berupaya. Sampai kemudian Allah mendatangkan orang lain sebagai pelatih, yang memaksa meneguk pil pahit untuk pertama kalinya, agar terbiasa untuk selanjutnya.
Terima kasih, musuh…!
Engkaulah penyebab lahirnya pendisiplinan diri; agar diri tidak hanyut oleh pujian para pemuji. Sungguh, Allah menjadikanmu sebagai penyeimbang. Agar, seseorang tidak tertipu oleh pujian, atau sanjungan orang yang berlebihan, atau ujub yang tidak pada tempatnya, dari para pengagum yang hanya melihat kebaikan dan kebaikan belaka. Berbeda dengan engkau! Engkau tidak melihat kecuali dari sisi lain. Atau, engkau sejatinya melihat kebaikan tapi engkau buat ia menjadi buruk.
Terima kasih, musuh…!
Engkau telah mencela lisan-lisan pembela kebenaran, menyerangnya, juga menentangnya, yang karenanya mengobarkan sikap pembelaan yang hebat.
Jika bukan karena nyala api yang membakarnya
Aroma harum kayu gaharu takkan ada yang tahu
Terima kasih, terima kasih! Engkau mempunyai kelebihan –sekalipun tidak engkau inginkan– dalam menciptakan iklim keseimbangan, juga objektifnya sebuah pemikiran. Kadang, manusia meletakkan al-haq melampaui kadarnya. Dan engkau, menjadi penyebab ditegakkannya keseimbangan. Penyebab adanya evaluasi dan perbaikan. Maka, janganlah engkau diperbudak kemarahan atas sebab penolakanmu. Sebab seseorang, jika kepentingan telah masuk, tak dapat lagi melihat dan berpikir jernih. Yang tersisa hanya menolak dan menentang. Tak ada lagi ketenangan dan kehati-hatiaan dalam dirinya. Tak ada lagi kecermatan dalam memandang pendapat orang yang berbeza dengannya. Padahal, boleh jadi yang berbeza itu benar, meski hanya sedikit.
Terima kasih, musuh…!
Sungguh, Engkau telah mengasah semangat, menciptakan tantangan, membuka arena, dan menggelar kompetisi. Hingga setiap orang benar-benar terobsesi memenangkan dirinya, berambisi meningkatkan dirinya, untuk meraih kedudukan yang tinggi nan utama. Ya, berlumba adalah sunnah syar’iyah, adalah ketentuan Rabbani. Bukankah Allah berfirman, “Maka, pada yang demikian itu hendaklah manusia mau berlumba.” Tentu, kemuliaan sebuah perlumbaan, didasarkan pada tata-cara yang mulia, tujuan yang benar, media yang sihat, serta rongga yang bersih.
Terima kasih, musuh…!
Engkaulah yang menempa kami untuk berlatih bersabar, berlatih tabah dalam menghadapi cubaan, dan berlatih membalas keburukan dengan kebaikan sekaligus penolakan.
Terima kasih, musuh…!
Ya, timbangan kebaikan seseorang kelak, kadang bukan buah dari amal soleh yang ia lakukan. Tetapi, ia buah dari kesabaran, buah dari bersikap baik, buah dari ridha atas ketentuan-Nya, buah dari bersikap memaafkan… Musuhku…, aku sadar betul bahwa sebagian dari kata-kata ini membuatmu tidak berkenan, atau bahkan terasa menyesakkan hati. Tapi, sungguh saya tidak bermaksud membuatmu begitu. Sejujurnya saya katakan, engkau adalah teman sejati. Engkau adalah saudaraku seagama, sekalipun terdapat perbezaan pendapat di antara kita. Kalau saja kita mahu melihat titik persamaan, cukup banyak yang bisa kita temukan.
Terima kasih kepada semua orang yang telah mencemuhku dan memberi gelar buruk kepadaku. Karena itulah aku belajar bagaimana teknik dan cara untuk menjadi orang yang kamu semua inginkan. Meskipun aku tidak pernah menerapkannya.
Terima kasih kepada orang yang pernah menganggap aku gila. Dari sinilah aku bisa mengerti mengapa orang bisa menjadi gila dan aku mendapat ilmu untuk tidak menjadi gila.
Terima kasih kepada orang yang pernah menikamku dari belakang. Dikau telah mengajarkan kepadaku tentang kewaspadaan dan kehati – hatian.
Terima kasih kepada teman – temanku yang selalu mendukungku. Kalian semua telah menyalakan kobaran semangat dalam diriku, meski terkadang aku meredupkannya.
Terima kasih kepada semua yang telah hadir dan simpati kepadaku. Memberi warna dalam hidupku dan mencurahkan secercah perhatian untukku.
Hidup terkadang memang harus melawan arus, meski kenyataannya tidak selalu memberi kegembiraan untuk dijalani. Dari semua yang ada aku bisa belajar beza, karena aku memang beza dan terlahir berbeza.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan